Sebelumnya saya telah menceritakan salah satu transportasi
yang saya gunakan untuk menembus kemacetan di Ibukota Jakarta menuju Museum
Fatahillah. Transportasi tersebut biasa kita sebut dengan istilah “Busway” atau
“Transjakarta”. Selanjutnya saya akan menceritakan sedikit mengenai sejarah
Museum Fatahillah.
Museum Fatahillah memiliki nama resmi Museum Sejarah
Jakarta. Museum Sejarah Jakarta sendiri adalah sebuah museum yang terletak di
Jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter
persegi. Museum ini banyak sekali dikunjungi oleh berbagai wisatawan
mancanegara. Bukan hanya wisatawan mancanegara saja, tapi disana juga banyak
sekali wisatawan Indonesia yang datang berkunjung untuk berlibur bersama dengan
sanak saudaranya. Oleh karena itu, Museum Fatahillah ini sudah tak asing lagi
bila terdengar ditelinga setiap orang.
Museum Fatahillah memiliki bangunan yang amat-amat
bersejarah, yaitu pada awal mulanya, balai kota pertama di Batavia dibangun
pada tahun 1620 ditepi timur Kali Besar. Bangunan ini hanya bertahan selama
enam tahun sebelum akhirnya dibongkar demi menghadapi serangan dari pasukan
Sultan Agung pada tahun 1626. Sebagai penggantinya, dibangunlah kembali balai
kota tersebut atas perintah Gubernur-Jenderal Joan Van Hoorn ditahun 1627.
Balai kota Batavia juga mempunyai ruang tahanan yang pada
masa VOC dijadikan penjara utama di kota Batavia. Sebuah bangunan bertingkat
satu pernah berdiri di belakang balai kota sebagai penjara. Penjara tersebut
dikhususkan kepada para tahanan yang mampu membiayai kamar tahanan mereka
sendiri. Namun berbeda dengan penjara yang berada di bawah gedung utama.
Penjara ini hampir tidak ada ventilasi dan minimnya cahaya penerangan hingga
akhirnya banyak tahanan meninggal karena menderita kolera, tifus dan kekurangan
oksigen. Penjara dibalai kota pun ditutup pada tahun 1846 dan dipindahkan ke
sebelah timur Molenviley Oost. Beberapa tahanan yang menempati penjara balai
kota adalah bekas Gubernur Jenderal di Sri Lanka Vuyst, Untung Suropati dan Pangeran
Diponegoro.
Seperti umumnya di Eropa, balai kota dilengkapi dengan
lapangan yang dinamakan Stadhuisplein. Menurut sebuah lukisan yang dibuat oleh
Johannes Rach, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang
merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari
Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju Stadhuiplein. Tetapi air
mancur tersebut hilang pada abad ke-19. Pada tahun 1972, diadakan penggalian
terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan
pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai
gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur ditengah Taman Fatahillah.
Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan
memberi nama baru yaitu “Taman Fatahillah” untuk mengenang panglima Fatahillah
pendiri kota Jayakarta. Bangunan Museum
fatahillah ini menyerupai Istana Dam di Asterdam, yang terdiri atas bangunan
utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang
digunakan sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
Pada sejarah museum fatahillah berdasarkan pembentukannya
hingga bisa kita kunjungi sampai sekarang ini, menyimpan sisa penjajahan
didalamnya. Museum Fatahillah terbentuk menjadi dua lantai dengan ruang bawah
tanah yang berisikan banyak peninggalan bersejarah, yaitu:
- Lantai bawah
Berisikan peninggalan VOC seperti patung, keramik-keramik barang kerajinan seperti prasasti, gerabah, dan penemuan batuan yang ditemukan para arkeolog. Selain itu terdapat pula peninggalan kerajinan asli Betawi (Batavia) seperti dapur khas Batavia tempo dulu. - Lantai Dua
Terdapat perabotan peninggalan para bangsa Belanda mulai dari tempat tidur dan lukisan-lukisan lengkap dengan jendela besar yang menghadap alun-alun. Konon, jendela besar inilah yang digunakan untuk melihat hukuman mati para tahanan yang dilakukan ditengah alun-alun. - Ruang Bawah Tanah yang tidak kalah penting pada bangunan ini adalah, penjara bawah tanah para tahanan yang melawan pemerintah Belanda. Terdiri dari 5 ruangan sempit dan pengap dengan bandul besi sebagai belenggu kaki para tahanan.